Minggu, 24 Juni 2012

Aku Langit Senja dan Kau Langit Malam


“Haaah…” Aku menghela nafas panjang sembari menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi yang telah aku duduki sejak setengah jam yang lalu. Setengah jam aku mematung di sini. Kaki enggan beranjak, padahal pikiran sudah melayang-layang entah kemana, hati juga risau tak karuan. Sepintas mataku menatap langit, “Langit semakin temaram.” batinku. Aku kembali tertunduk, diam. Aku ingin bergegas meninggalkan tempat ini, tapi enggan rasanya, entah apa yang aku tunggu.

“Senjaa!” Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. Oh, Bintang berlari-lari kecil ke arahku. Sedikit senyum simpul menyembul dari bibirku, aku pun beranjak berdiri.
“Hah hah. Kamu belum pulang? Hampir malam, lho.” Tanya Bintang padaku, sambil mengatur nafasnya.
“Belum. Aku --- nunggu kamu, mungkin. Hahaha”
“Hahaha. Ngapain nunggu aku, hah? Takut pulang sendiri?” Bintang menjulurkan lidahnya, meledek.
“Enak aja! Huh! Aku udah biasa pulang sendiri, tau!” Aku melengos.
“Hahaha, bercanda. Pulang duluan sana, kemaleman di jalan bahaya. Aku masih ada urusan di sini.” Senyum hangat Bintang tersungging. Sedikit berat hati untuk melangkah pulang, melewati gerbang senja, sendirian.
“Oke. Aku pulang duluan. Kamu, hati-hati pulangnya yaa, jangan malem-malem.” Sedikit senyum kupaksakan.
“Aku akan baik-baik saja. Kamu yang harusnya hati-hati, hahaha. Nah, Senja, kalau di jalan nanti kamu kemalaman, lihat langit, deh. Di sana ada banyak mata-mata aku yang sedang mengawasimu, mengawasimu dari orang-orang jahat. Hebatkan akuu… hahaha” tawa angkuhnya menggelegar, tapi rasa hangat sedikit menyelinap nakal di hatiku.
“Hahaha. Iya iya yang hebat! Sudah, aku pulang dulu, makasih yaa, Bintang.” Aku mengambil langkah dan melambaikan tangan.
“Daaa, hati-hati, senjaaa” Bintang tersenyum lebar dan membalas lambaian tanganku. Aku bergegas membalikkan badan dan melangkah.

Langit semakin memerah, tak lama lagi senja berakhir, dan kemudian malam. Aku masih tak tahu apa yang membuatku menunggu,apa yang aku tunggu.

Dalam perjalanan, sekilas aku menatap langit, sudah gelap, dan cahaya-cahaya itu … Bintang. Kau baik, Bintang. Kau mengagumkan. Apa mungkin memang aku ditakdirkan untuk menjadi Senja, yang menunggu malam, menanti berjumpa Bintang di langit yang sama. Aku, langit senja, dan kau berada di langit malam. Bagaimana kita bisa berjumpa dilangit yang sama?

Senin, 12 Maret 2012

Suatu hari nanti

Mungkin suatu hari nanti, aku akan berhenti untuk mengingatmu, berhenti merindukanmu, dan berhenti mengharap tentangmu. Karena suatu hari itu nanti, kau akan ada disini, disampingku, hingga aku bebas menatapmu didepan mataku.

Berlari Ingkar

Tak lagi berani mengingatmu, enggan untuk bertemu, ingkar tentangmu. Berlari menjauh melupakanmu, menyerah aku pasrah. Dan tanpa sadar, justru aku semakin berlari mendaki puncak kerinduanku, padamu.

Jumat, 09 Maret 2012

Hatiku Selembar Daun


Oleh :
Sapardi Djoko Damono

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

Bunga

Oleh :
Sapardi Djoko Damono

BUNGA, 1

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.


BUNGA, 2

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.


BUNGA, 3

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

Akulah si Telaga


Oleh :
Sapardi Djoko Damono

akulah si telaga, berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

Aku Ingin


Oleh :
Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Biar Aku Memelukmu dalam Diam

Senja menyiratkan jingganya saat Aku menyusuri jalanan ini. Jalanan ini masih sama seperti setahun yang lalu, saat aku melaluinya bersamamu. Ah, lagi-lagi ingatan tentangmu, meskipun aku ragu bahwa kau juga akan mengingatku seperti aku mengingatmu saat ini. Mengingatmu, apa itu salah? Mengingatmu adalah salah satu proses saat aku merindukanmu, aku merindukanmu karena aku menyayangimu, dan selalu aku bertanya-tanya apa aku boleh cemburu saat aku melihatmu bersama teman perempuanmu yang lain? Meskipun itu hanya sekilas, meskipun itu hanya dalam jejaring sosial? Apa aku berhak cemburu karena memang kau bukan siapa-siapa?

Aku mungkin terbiasa sendiri, tapi sejak adanya dirimu itu mengubah sebagian hidupku. Aku terbiasa sendiri, tapi sekarang aku tak bisa biasa tanpa bayanganmu. Aku terbiasa dengan memutar kembali memori tentangmu. Ya bagaimana aku bisa lupa? Bagaimana aku bisa berhenti mengingatmu? Dalam diam, hatiku terus mengeja namamu. Setiap sudut, dimana pun kapanpun, terus menerus membuatku menerawang memutar kembali cerita yang aku lalui bersamamu. Hingga hal sepele seperti hujan dan malam selalu mengingatkanku, dan tak lupa aku menebak dalam hati apakah kau juga mengingat semua itu. Apakah kau masih ingat saat kau menatap dan menelaah mataku? Perhatian-perhatian yang kau berikan dulu itu meloncat-loncat berlarian dalam otakku.

Semuanya masih tentangmu. Mungkin aku yang bodoh yang mengingatmu, yang merindukanmu, dan menghadapi kenyataan kau bukan siapa-siapa. Dalam diam, hatiku mengeja namamu, dalam diam otakku memutar semua memori tentangmu. Kau boleh anggap aku lancang, aku hanya ingin memeluk hatimu, memeluknya dengan hatiku, menggenggamnya dalam rinduku, masih dalam kebisuanku tentu saja.
Kau terlalu baik. Sungguh. Aku tak punya alasan kenapa aku bisa mengagumimu, selalu mengingatmu, bahkan merindukanmu. Semua mengalir begitu saja. Aku yang terbiasa dengan bayanganmu, dengan ingatan-ingatan tentangmu.

Anggap saja aku satu dari seribu yang mengagumimu, yang tak memiliki alasan kenapa aku menyayangimu, yang seharusnya tak berhak merindukanmu…
Biarlah aku memelukmu dalam diam, karena aku tak mampu menatapmu, karena aku tak tahu harus bagaimana merangkai kata untuk berdialog denganmu, karena hanya detak jantung ini yang mampu mengeja namamu, biar aku mengingatmu dalam diamku…

Mandalawangi - Pangrango


Mandalawangi - Pangrango
oleh: Soe Hok Gie

“Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup”

-Jakarta 19-7-1966-

Mematung Terpukau

Tak butuh kutukan Ibu Malin Kundang untuk menjadikanku batu. Atau mata seorang medusa yang menjadikanku beku. Namun, cukup dengan tatapan mata dan senyumanmu saja mampu membuatku terpaku, sedetik menghentikan sistem kerja jantungku lalu kemudian memompa keras-keras hingga darahku dengan kilat mengalir keseluruh tubuh. Mematung terpukau.

Semenit untuk Sehari

Hanya sedetik aku bertatap mata dan butuh berjam-jam aku mendamaikan hatiku yang bergemuruh. Hanya semenit aku bertegur sapa, namun mampu mengukir senyum dalam hariku.

Kamis, 08 Maret 2012

Aku Takut Semakin...

Aku menyambutmu dengan debaran. Tanpa kata yang terucap, tertimbun rindu yang tak kunjung meluruh. Kau ada di hadapanku, membuncah rasaku, hingga gemetar seluruh nadiku, mengunci bibirku, tak mampu memandangmu. Aku takut semakin jauh, semakin dalam mencintaimu. Karena dalam matamu itu, aku temukan lorong kedamaian, karena senyummu itu menyejukkan gerahnya hatiku. Aku takut terlena, walau Aku tahu, yang ada padamu telah melenakanku.

Biar Waktu yang Berpuisi

Mau dikata apalagi? Harus berpuisi seperti apa lagi? Aku hanya mengikuti waktu, dan setelahnya, entah rasa itu hanyut kemana. Mungkin sekarang giliran waktu yang akan berpuisi.

Karena Aku Mencintaimu

Aku menatapmu lekat-lekat. Aku mencuri senyummu diam-diam. Aku menyimpan memori tentangmu dalam-dalam. Aku merindumu sembunyi-sembunyi. Aku melepasmu perlahan-lahan. Karena Aku, mencintaimu.

Bintang - Bulan


Menjelang malam di hari itu, Aku menunggumu datang menjemputku di depan gerbang senja. Menunggumu, ditemani rinduku yang telah mendidih dalam hati, bercampur rasa tak sabar untuk menatap lekat tiap lekuk wajahmu.
Sepuluh menit, mulutku diam, tapi sungguh hatiku ini terus menerus berteriak, menjerit memanggil namamu dan mengungkapkan rindu.
Entah rindu ini saling, atau hanya searah. Yang Aku tahu, Aku rindu, itu saja.

Lihat! Matahari sebentar lagi terbenam! Aku harus melangkahkan keluar dari gerbang senja dan menyusuri malam. Namun, haruskah Aku melangkah sendiri malam ini? Dimana dirimu yang semenjak tadi Aku tunggu? Bukankah terbiasa kita berjumpa disini dan melangkah dalam gelap malam dan menyinari langit bersama?

Mungkin kau tertutup awan hitam,  atau tertutup bayangan bumi, atau kau enggan menyinari langit yang sama denganku?

Kita terbiasa berjumpa di langit yang sama, Aku dan ribuan bintang lainnya , dan kau sendiri menyinari langit malam. Aku dengan cahaya kecilku, Kau dengan cahaya anggunmu. Aku diam-diam menikmatimu, menikmati keanggunanmu menyinari langit, memantulkan cahaya ke bumi.

Bulan, kita terbiasa berada di langit yang sama, menyinari malam bersama. (Dulu)terbiasa kita melangkah bersama memasuki gelap malam. Kali ini, kesekian kalinya aku menunggumu melewati gerbang senja ini. Dan lagi, tak kujumpai dirimu disini.

“Seperti (Aku) Bintang yang tak mampu memeluk(mu) Bulan, meski (kita) berada di langit yang sama”

Bercerminlah

Pernahkah kau bercermin? Pernah kau tatap lekat kedua matamu itu? Disana aku menyemai rindu pada kedua matamu.
Pernah kau bercermin? Pernah kau perhatikan senyum tulus dari bibirmu? Disana aku menyematkan kedamaian untuk hatiku.
Pernah kau bercermin? Pernah kau lihat sosokmu seluruhnya? Disana aku menghirup kekaguman untukmu, dari aku.

Hingga Waktu Menulis Kita

“Aku ingin terus menulis, sehingga aku akan terus jatuh cinta. Menulis tentang Aku. Sampai nanti. Sampai waktu yang akan menulis tentang Aku, Kau dan Kita”

Rabu, 07 Maret 2012

Terima Kasih

Terima kasih,
Kalau saja takdir tidak mempertemukan kita, kalau saja Aku tak pernah mengenalmu, mungkin Kamu tidak akan pernah mengajariku merangkai huruf dan berkisah tentangmu.
Kalau saja Kamu tidak pernah hadir disini, mungkin akan banyak kata-kata yang hilang dan mungkin takkan pernah aku temukan...