Menjelang malam di hari itu, Aku menunggumu datang
menjemputku di depan gerbang senja. Menunggumu, ditemani rinduku yang telah
mendidih dalam hati, bercampur rasa tak sabar untuk menatap lekat tiap lekuk
wajahmu.
Sepuluh menit, mulutku diam, tapi sungguh hatiku ini
terus menerus berteriak, menjerit memanggil namamu dan mengungkapkan rindu.
Entah rindu ini saling, atau hanya searah. Yang Aku tahu,
Aku rindu, itu saja.
Lihat! Matahari sebentar lagi terbenam! Aku harus
melangkahkan keluar dari gerbang senja dan menyusuri malam. Namun, haruskah Aku
melangkah sendiri malam ini? Dimana dirimu yang semenjak tadi Aku tunggu? Bukankah
terbiasa kita berjumpa disini dan melangkah dalam gelap malam dan menyinari
langit bersama?
Mungkin kau tertutup awan hitam, atau tertutup bayangan bumi, atau kau enggan
menyinari langit yang sama denganku?
Kita terbiasa berjumpa di langit yang sama, Aku dan
ribuan bintang lainnya , dan kau sendiri menyinari langit malam. Aku dengan
cahaya kecilku, Kau dengan cahaya anggunmu. Aku diam-diam menikmatimu,
menikmati keanggunanmu menyinari langit, memantulkan cahaya ke bumi.
Bulan, kita terbiasa berada di langit yang sama, menyinari malam bersama. (Dulu)terbiasa kita melangkah bersama memasuki gelap malam. Kali ini, kesekian kalinya aku menunggumu melewati gerbang senja ini. Dan lagi, tak kujumpai dirimu disini.
Bulan, kita terbiasa berada di langit yang sama, menyinari malam bersama. (Dulu)terbiasa kita melangkah bersama memasuki gelap malam. Kali ini, kesekian kalinya aku menunggumu melewati gerbang senja ini. Dan lagi, tak kujumpai dirimu disini.
“Seperti (Aku) Bintang yang tak mampu memeluk(mu) Bulan,
meski (kita) berada di langit yang sama”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar