Tak melulu curahan hati atau ungkapan perasaan. Sebut saja sebuah karya, permainan kata atau sekedar sandiwara.
Senin, 12 Maret 2012
Suatu hari nanti
Mungkin suatu hari nanti, aku akan berhenti untuk mengingatmu, berhenti merindukanmu, dan berhenti mengharap tentangmu. Karena suatu hari itu nanti, kau akan ada disini, disampingku, hingga aku bebas menatapmu didepan mataku.
Berlari Ingkar
Tak lagi berani mengingatmu, enggan untuk bertemu, ingkar tentangmu. Berlari menjauh melupakanmu, menyerah aku pasrah. Dan tanpa sadar, justru aku semakin berlari mendaki puncak kerinduanku, padamu.
Jumat, 09 Maret 2012
Hatiku Selembar Daun
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Bunga
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
BUNGA, 1
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak
terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian
saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu
pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara
ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada
embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja,
para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
BUNGA, 2
mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika
pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin
berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak
ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta
itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
BUNGA, 3
seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna
coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras
di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada
yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan
yang telah membawa pergi jasadku?"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Akulah si Telaga
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
akulah si telaga, berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Aku Ingin
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Biar Aku Memelukmu dalam Diam
Senja menyiratkan jingganya saat Aku menyusuri jalanan ini. Jalanan ini masih sama seperti setahun yang lalu, saat aku melaluinya bersamamu. Ah, lagi-lagi ingatan tentangmu, meskipun aku ragu bahwa kau juga akan mengingatku seperti aku mengingatmu saat ini. Mengingatmu, apa itu salah? Mengingatmu adalah salah satu proses saat aku merindukanmu, aku merindukanmu karena aku menyayangimu, dan selalu aku bertanya-tanya apa aku boleh cemburu saat aku melihatmu bersama teman perempuanmu yang lain? Meskipun itu hanya sekilas, meskipun itu hanya dalam jejaring sosial? Apa aku berhak cemburu karena memang kau bukan siapa-siapa?
Aku mungkin terbiasa sendiri, tapi sejak adanya dirimu itu mengubah sebagian hidupku. Aku terbiasa sendiri, tapi sekarang aku tak bisa biasa tanpa bayanganmu. Aku terbiasa dengan memutar kembali memori tentangmu. Ya bagaimana aku bisa lupa? Bagaimana aku bisa berhenti mengingatmu? Dalam diam, hatiku terus mengeja namamu. Setiap sudut, dimana pun kapanpun, terus menerus membuatku menerawang memutar kembali cerita yang aku lalui bersamamu. Hingga hal sepele seperti hujan dan malam selalu mengingatkanku, dan tak lupa aku menebak dalam hati apakah kau juga mengingat semua itu. Apakah kau masih ingat saat kau menatap dan menelaah mataku? Perhatian-perhatian yang kau berikan dulu itu meloncat-loncat berlarian dalam otakku.
Semuanya masih tentangmu. Mungkin aku yang bodoh yang mengingatmu, yang merindukanmu, dan menghadapi kenyataan kau bukan siapa-siapa. Dalam diam, hatiku mengeja namamu, dalam diam otakku memutar semua memori tentangmu. Kau boleh anggap aku lancang, aku hanya ingin memeluk hatimu, memeluknya dengan hatiku, menggenggamnya dalam rinduku, masih dalam kebisuanku tentu saja.
Kau terlalu baik. Sungguh. Aku tak punya alasan kenapa aku bisa mengagumimu, selalu mengingatmu, bahkan merindukanmu. Semua mengalir begitu saja. Aku yang terbiasa dengan bayanganmu, dengan ingatan-ingatan tentangmu.
Anggap saja aku satu dari seribu yang mengagumimu, yang tak memiliki alasan kenapa aku menyayangimu, yang seharusnya tak berhak merindukanmu…
Biarlah aku memelukmu dalam diam, karena aku tak mampu menatapmu, karena aku tak tahu harus bagaimana merangkai kata untuk berdialog denganmu, karena hanya detak jantung ini yang mampu mengeja namamu, biar aku mengingatmu dalam diamku…
Mandalawangi - Pangrango
Mandalawangi - Pangrango
oleh: Soe Hok Gie
“Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup”
-Jakarta 19-7-1966-
Mematung Terpukau
Tak butuh kutukan Ibu Malin Kundang untuk menjadikanku batu. Atau mata seorang medusa yang menjadikanku beku. Namun, cukup dengan tatapan mata dan senyumanmu saja mampu membuatku terpaku, sedetik menghentikan sistem kerja jantungku lalu kemudian memompa keras-keras hingga darahku dengan kilat mengalir keseluruh tubuh. Mematung terpukau.
Semenit untuk Sehari
Hanya sedetik aku bertatap mata dan butuh berjam-jam aku mendamaikan hatiku yang bergemuruh. Hanya semenit aku bertegur sapa, namun mampu mengukir senyum dalam hariku.
Kamis, 08 Maret 2012
Aku Takut Semakin...
Aku menyambutmu dengan debaran. Tanpa kata yang terucap, tertimbun rindu yang tak kunjung meluruh. Kau ada di hadapanku, membuncah rasaku, hingga gemetar seluruh nadiku, mengunci bibirku, tak mampu memandangmu. Aku takut semakin jauh, semakin dalam mencintaimu. Karena dalam matamu itu, aku temukan lorong kedamaian, karena senyummu itu menyejukkan gerahnya hatiku. Aku takut terlena, walau Aku tahu, yang ada padamu telah melenakanku.
Biar Waktu yang Berpuisi
Mau dikata apalagi? Harus berpuisi seperti apa lagi? Aku hanya mengikuti waktu, dan setelahnya, entah rasa itu hanyut kemana. Mungkin sekarang giliran waktu yang akan berpuisi.
Karena Aku Mencintaimu
Aku menatapmu lekat-lekat. Aku mencuri senyummu diam-diam. Aku menyimpan memori tentangmu dalam-dalam. Aku merindumu sembunyi-sembunyi. Aku melepasmu perlahan-lahan. Karena Aku, mencintaimu.
Bintang - Bulan
Menjelang malam di hari itu, Aku menunggumu datang
menjemputku di depan gerbang senja. Menunggumu, ditemani rinduku yang telah
mendidih dalam hati, bercampur rasa tak sabar untuk menatap lekat tiap lekuk
wajahmu.
Sepuluh menit, mulutku diam, tapi sungguh hatiku ini
terus menerus berteriak, menjerit memanggil namamu dan mengungkapkan rindu.
Entah rindu ini saling, atau hanya searah. Yang Aku tahu,
Aku rindu, itu saja.
Lihat! Matahari sebentar lagi terbenam! Aku harus
melangkahkan keluar dari gerbang senja dan menyusuri malam. Namun, haruskah Aku
melangkah sendiri malam ini? Dimana dirimu yang semenjak tadi Aku tunggu? Bukankah
terbiasa kita berjumpa disini dan melangkah dalam gelap malam dan menyinari
langit bersama?
Mungkin kau tertutup awan hitam, atau tertutup bayangan bumi, atau kau enggan
menyinari langit yang sama denganku?
Kita terbiasa berjumpa di langit yang sama, Aku dan
ribuan bintang lainnya , dan kau sendiri menyinari langit malam. Aku dengan
cahaya kecilku, Kau dengan cahaya anggunmu. Aku diam-diam menikmatimu,
menikmati keanggunanmu menyinari langit, memantulkan cahaya ke bumi.
Bulan, kita terbiasa berada di langit yang sama, menyinari malam bersama. (Dulu)terbiasa kita melangkah bersama memasuki gelap malam. Kali ini, kesekian kalinya aku menunggumu melewati gerbang senja ini. Dan lagi, tak kujumpai dirimu disini.
Bulan, kita terbiasa berada di langit yang sama, menyinari malam bersama. (Dulu)terbiasa kita melangkah bersama memasuki gelap malam. Kali ini, kesekian kalinya aku menunggumu melewati gerbang senja ini. Dan lagi, tak kujumpai dirimu disini.
“Seperti (Aku) Bintang yang tak mampu memeluk(mu) Bulan,
meski (kita) berada di langit yang sama”
Bercerminlah
Pernahkah kau bercermin? Pernah kau tatap lekat kedua matamu itu? Disana aku menyemai rindu pada kedua matamu.
Pernah kau bercermin? Pernah kau perhatikan senyum tulus dari bibirmu? Disana aku menyematkan kedamaian untuk hatiku.
Pernah kau bercermin? Pernah kau lihat sosokmu seluruhnya? Disana aku menghirup kekaguman untukmu, dari aku.
Hingga Waktu Menulis Kita
“Aku ingin terus menulis, sehingga aku akan terus jatuh cinta. Menulis tentang Aku. Sampai nanti. Sampai waktu yang akan menulis tentang Aku, Kau dan Kita”
Rabu, 07 Maret 2012
Terima Kasih
Terima kasih,
Kalau saja takdir tidak mempertemukan kita, kalau saja Aku tak pernah mengenalmu, mungkin Kamu tidak akan pernah mengajariku merangkai huruf dan berkisah tentangmu.
Kalau saja Kamu tidak pernah hadir disini, mungkin akan banyak kata-kata yang hilang dan mungkin takkan pernah aku temukan...
Kalau saja Kamu tidak pernah hadir disini, mungkin akan banyak kata-kata yang hilang dan mungkin takkan pernah aku temukan...
Langganan:
Postingan (Atom)